SIWARATRI

SIWARATRI

“Om Tryambhakam Yajamahe, Sugandhim Pushtivardhanam, Urvarukamiva Bandhanan, Mrityor Mukshiya Ma amritat.”

Om Sembah Sujud kepada Dewa Siwa yang bermata tiga, Yang mengayomi dan menebarkan keharuman pada kehidupan kita. Semoga Beliau membebaskan kita dari penderitaan, dan kegelapan menuju cahaya abadi.

Hari ini adalah sehari sebelum Tilem sasih Kepitu (Prawaning), dimana umat Hindu di Bali pada malam harinya memperingati Hari Raya Siwaratri. Dari cerita-cerita dalam agama Hindu malam sehari sebelum Tilem Kepitu merupakan malam paling gelap dari seluruh malam dalam setahun ini (Penanggalan Caka), dimana diyakini Dewa Siwa akan melakukan Yoga Semadi untuk keselamatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya.

Ada juga cerita di masyarakat Bali  bahwa Malam Siwaratri dikenal sebagai malam peleburan dosa. Benarkah hal itu? Benarkah dosa yang kita perbuat bisa dilebur dengan hanya begadang pada malam Siwalatri seperti dalam ceritra Sang Pemburu Lubdaka? Kalau tidak terus apa sih sebenarnya makna dari perayaan Siwaratri? Bagaimana cara pelaksanaan Siwaratri ini?

 

  1. Pengertian:

Sehari sebelum Tilem sasih Kapitu atau yang sering di sebut prawaning tilem kapitu, umat hindu memperingati Hari Siwaratri. Jika di urut dari asal katanya, Siwa itu dapat diartikan sebagai Penghancur Kegelapan sebagai simbolis Cahaya/Terang dan Ratri itu dapat diartikan gelap. Sehingga Siwaratri dapat diartkan bahwa yang Terang telah menjadi gelap dan yang gelap menjadi terang kembali.

Dalam diri manuasia bersemayam Tuhan beserta sifat – sifat Ketuhanan, namun seiring perjalanan hidup, kegelapan dan ilusi duniawi membuat manuasia semakin lupa akan asal dan jati diri.

Dalam Siwaratri Kalpa dijelaskan bahwa bagaimana Sang Hyang Atma kelangen, begitu terpesonanya dengan segala kenikmatan yang diperoleh dari panca indria walaupun semua keindahan dan kenikmatan tersebut bersifat semu dan palsu. Semakin hari pikiran semakin membe         ri ruang gerak yang semakin leluasa kepada panca indria, sehingga akhirnya jiwa menjadi dikendalikan oleh panca indria. Mata selalu ingin melihat sesuatu yang bagus, senang melihat wanita cantik atau lelaki tampan. Hidung selalu mencari bau yang harum, lidah selalu ingin makan makanan enak, telinga selalu ingin mendengar suara yang merdu, dan kulitpun selalu ingin sentuhan lembut. Karena begitu hebatnya pengaruh kenikmatan duniawi sehingga akhirnya sang jiwa terbelenggu dalam kesibukan untuk selalu mengejar keinginan panca indria sampai lupa akan asal dan jati diri sebagai manuasia.


  1. Kenapa Siwaratri dilaksanakan pada Prawaning Tilem Kepitu?

Jika ada yang bertanya, kenapa Siwaratri dirayakan pada prawaning tilem kapitu? kenapa bukan sasih yang lain? Prawaning Tilem atau sehari sebelum tilem merupakan malam yang paling gelap dan sasih kepitu merupakan lambang sapta timira, jadi Ida Mpu Kuturan memilih Prawaning Tilem Kepitu sebagai hari perayaan Siwaratri untuk mengingatkan kita bahwa kita yang berasal dari Tuhan (siwa) telah masuk kejurang kegelapan (ratri) karena pengaruh tujuh sifat kemabukan (pitu).

Sifat Ketuhanan beserta segala kemampuan luar biasa yang menyertainya yang ada pada diri manusia semakin hari semakin dalam terkubur karena manusia telah lupa diri, manusia telah dirasuki sapta timira, tujuh kegelapan atau sifat kemabukan yaitu Surupa yang mana manusia mabuk akan rupa yang cantik dan tampan, padahal ini sifatnya hanya sementara, sekarang cantik maka lima atau sepuluh tahun lagi semua itu akan hilang, namun sangat banyak yang masih memburu hal tersebut. Dhana yaitu kita yang takabur dan mabuk oleh kekayaan, sekarang ini bisa dikatakan mereka yang punya uang yang berkuasa, namun inipun hanya semu, tidak ada uang yang bisa menjanjikan kebahagiaan. Guna artinya lupa diri karena merasa diri lebih pintar sehingga merendahkan orang lain, namun pengetahuan itu ibarat samudera yang tanpa batas. Kulina adalah orang yang merasa diri lebih tinggi kedudukannya karena faktor keturunan, Yowana yaitu lupa diri karena masa remaja, Kasuran yaitu sifat sombong karena mabuk kemenangan dan Sura karena mabuk minumam keras. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa karena pengaruh ikatan duniawi yang kuat manusia telah melupakan asal muasalnya. Karena kuatnya keinginan duniawi maka manusia akan menemuai klesa yaitu kekotoran, menuju ke papa yaitu kegelapan jiwa dan pikiran yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa.

Siwaratri merupakan momentum bagi kita untuk introspeksi diri, bertanya dalam keheningan jiwa, “betulkan saya adalah percikan sinar suci tuhan?” jika betul apakah sifat dan perilaku kita sudah mencerminkan hal tersebut?. Malam Siwaratri hendaknya dijadikan sebuah momentum untuk merenung alias introspeksi diri karena sangat jarang kita punya waktu untuk berbicara dengan diri sendiri. Saat Siwaratri hendaknya kita sadari semua kekeliruan dan kebodohan kita sebagai manusia dan jadikan itu sebagai sebuah bara semangat untuk memulai kehidupan yang lebih baik sehingga terang yang telah menjadi gelap bisa kembali bersinar terang.

  1. Siwaratri dan Penebusan Dosa

Banyak yang beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan dosa, anggapan ini muncul mungkin karena pemahaman yang kurang tepat tentang cerita sang lubdaka yang katanya adalah pembunuh namun terbebas dari dosa karena bergadang saat malam Siwaratri.  Dalam ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil perbuatan (karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala). Dalam Siwarati umat manusia berusaha untuk sadar kembali tentang jati dirinya sehingga terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan jiwa) seperti yang tertuang dalam puja tri sandyaOm papo’ham papakarmaham papatma papasambhavah“  yang pada akhirnya akan menghindarkan manusia dari segala perbuatan dosa.


  1. Sang Lubdaka  Seorang Pembunuh Binatang

Banyak yang bertanya, bukankah membunuh itu dosa? Dalam ajaran Agama Hindu khususnya di Bali, memang diperbolehkan membunuh binatang. Hal ini termuat dalam lontar Werthi Sesana. Ada dua hal yang diperbolehkan dalam membunuh binatang, yang pertama untuk upacara yadnya dan yang kedua untuk di makan alias dikonsumsi. Jika kita membandingkan dengan cerita Lubdaka, dalam sastra disebutkan bahwa Sang Lubdaka tersebut melakukan pembunuhan binatang hanya untuk dimakan, tidak untuk upacara yadnya. Dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan, sehingga apapun yang kita makan harus kita persembahkan terlebih dahulu, jika makan tanpa persembahan maka itu sama artinya dengan kita mencuri dan itu adalah dosa. Dalam cerita dikatakan bahwa Sang Lubdaka berburu binatang tanpa melakukan persembahan, hanya mengutamakan nafsu untuk makan saja, sehingga Sang Lubdaka telah melakukan perbuatan mencuri. Oleh karena itu, umat Hindhu khususnya di Bali selalu diharuskan melakukan persembahan berupa yadnya sesa sebelum makan. Dalam sastra Hindu, banyak tatwa – tatwa yang terkandung dalam cerita yang dijadikan tuntunan dalam menjalankan kehidupan, namun demikian cerita atau tatwa tersebut harus di telaah dan dipahami lebih dalam sehingga maksud atau inti dari cerita itu dapat kita petik.

Dalam cerita Lubdaka dikatakan bahwa Lubdaka adalah seorang pembunuh binatang namun saat bergadang pada malam Siwaratri sang Lubdaka mendapat sebuah pencerahan dari Tuhan. Sang Lubdaka sebagai pembunuh binatang, hal ini dapat kita artikan sebagai seseorang yang telah mampu membunuh sifat – sifat kebinatangannya, sehingga saat dia sadar (terjaga / tidak tidur) akan hakikatnya sebagai Siwa (setiap manuasia bersumber dari Tuhan / Siwa) yang telah diliputi maya dan kegelapan (ratri) maka saat itulah kesadaran akan kesejatian sebagai seorang manusia mulai bersinar.

Dalam cerita para penglingsir kita, Lubdaka juga diartikan sebagai Lud (melepaskan) dan Daki (kekotoran). Jadi Siwaratri merupakan sebuah momentum guna menyadarkan diri akan hakikat kita sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai sifat-sifat Tuhan (Siwa). Dan hendaknya kesadaran tersebut tidak hanya pada Hari Raya Siwaratri saja, tetapi setiap hari kita harus terjaga dan sadar.

  1. Makna Perayaan Siwaratri

Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.

Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.

Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.

Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.

Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.

  1. Pelaksanaan Siwaratri

Pelaksanaan Hari Raya Siwaratri intinya lebih dipusatkan kedalam diri sehingga lebih ditekankan pada pelaksanaan brata dan tapa melalui kontemplasi atau merenung untuk melihat ke diri sendiri. Dalam Agama Hindu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama dalam melakukan upacara atau yadnya yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula tingkatan brata dalam melaksanakan Siwaratri. Ada tiga jenis brata Siwaratri, Upayasa (puasa) yaitu brata tidak makan dan minum, Monabrata yaitu puasa tidak berbicara dan Jagra yaitu tidak tidur. Dalam tingkatan nista Upayasa dilaksanakan selama 12 jam yaitu mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi keesokan harinya. Tingkat Madya dilaksanakan selama 24 jam yaitu dari pagi hingga pagi keesokan harinya, dan tingkat Utama dilaksanakan selama 36 jam yaitu dari pagi hingga sore keesokan harinya.  Begitupun tingkatan bratanya, tingkat nista hanya jagra, tingkat madya upayasa dan jagra, dan utama melaksanakan ketiganya.

Mengawali hari raya Siwaratri sebaiknya dimulai dengan melukat dan bersembahyang di pagi harinya, lalu jalankan brata sesuai kemampuan dan malamnya lakukan perenungan akan hakikat dan jati diri kita sebagai manusia. Sehingga nantinya kita yang diliputi kegelapan pikiran dan jiwa bisa sadar dan kembali menjadi terang.

Pasraman Kriya Sadhu Wiguna

KSW

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Manusia merupakan subyek dan obyek dalam pembangunan, artinya manusia menempati posisi sentral dan strategis. Pembangunan sumber daya manusia hanya dapat dilakukan melalui upaya pendidikan, baik di lingkungan keluarga (pendidikan informal), di sekolah (pendidikan formal), dan di masyarakat (pendidikan non formal). Pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa : tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Konsekuensi dalam membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa tersebut, tidak lepas dari peranan pendidikan agama.

Pendidikan agama merupakan salah satu pendidikan yang membantu perkembangan manusia, khususnya membantu dalam perkembangan etika dan moral. Dengan demikian, pendidikan agama di Indonesia mendapat porsi yang cukup dalam sistem pendidikan. Diharapkan, nantinya melalui pendidikan agama dapat meningkatkan etika moral dalam rangka memelihara kerukunan bangsa, saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang berbeda(Noer dalam Sumarthana, 2001:234 ).

Bertitik tolak dari uraian di atas dan apabila dikaitkan dengan pengertian pendidikan Agama Hindu akan terlihat menjadi selaras menuju terbentuknya karakteristik manusia Indonesia humanis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pengertian pendidikan Agama Hindu sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik untuk beriman dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci: Sruti, Smerti, SiIa, Acara dan Atmanastuti.

1

Tujuan utama dari pembelajaran pendidikan Agama Hindu adalah membentuk manusia berbudi luhur, susila, dan bijaksana, yaitu manusia yang dapat menghayati hakikat dari kehidupan yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, manusia yang benar-benar mengetahui sebab-musabab sampai terjadinya penderitaan dan yakin bahwa betapapun bentuk penderitaan itu akan dapat dilenyapkan, karena telah diketahui jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Arsada, 2006:2).

Pengembangan pendidikan Agama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali dapat dikatakan belum memenuhi harapan umat Hindu. Hal ini disebabkan masih kurangnya lembaga pendidikan Hindu dari tingkat sekolah dasar sampai menengah yang berbasiskan Hindu, sehingga Pendidikan Agama Hindu pada lembaga pendidikan formal masih terbatas yakni hanya dapat alokasi waktu 3-4 jam pelajaran perminggu. Di samping itu kurang adanya pembelajaran pendidikan Agama Hindu di luar jam-jam sekolah seperti pasraman, atau sejenisnya yang khusus memberikan pendalaman pendidikan Agama Hindu.

Perkembangan dewasa ini, pedidikan agama seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, padahal penanaman nilai-nilai ajaran agama sangat sulit dan membutuhkan keberlanjutan. Sehingga  tanggung jawab bersama antara guru di sekolah dan masyarakat khususnya orang tua sangat dibutuhkan. Kenyataan tentang tidak berperannya pendidikan Hindu di Indonesia tersebut dibenarkan oleh Wiana (2000:21). Menurutnya, dalam penerapan nilai-nilai ajaran Hindu khususnya di Bali telah terjadi pergeseran dari konsep dasar agama Hindu yang sebenarnya. Pergeseran tersebut terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama umat Hindu di Indonesia tidak mendapat pendidikan dan pembinaan keagamaan yang bersistem dan berkelanjutan. Pembinaan yang dilakukan selama ini terlalu tradisional dan terhenti sebatas aspek ritual semata. Akibatnya terdapat praktek-praktek beragama Hindu yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ajaran Weda yang sesungguhnya. Pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali lebih menekankan pada aspek ritual (upacara) dan belum disertai dengan upaya memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai ketuhanan dalam Weda.

Peningkatan kualitas pendidikan agama Hindu melihat penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 di atas seharusnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga menjadi tanggung jawab masyarakat secara umum.

     Dalam meningkatkan mutu pendidikan agama Hindu,  PP. NO. 55 Pasal 38 Ayat 1 Tahun 2007 menerangkan bahwa pendidikan agama Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.

Pasraman sebagai lembaga pendidikan Hindu memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama Hindu.

Kata pasraman berasal dari kata “asrama” (sering ditulis dan dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain.

Di era globalisasi ini lembaga pendidikan agama Hindu khususnya Pasraman sudah bergeser dari fungsi yang sesungguhnya karena perkembangan IPTEK generasi mudah lebih memilih menuntut ilmu pengetahuan dilembaga pendidikan formal yang bersifat umum. Jumlah umat hindu yang tergolong minoritas membuat jumlah pasraman yang ada di Indonesia sangat minim, tak hanya dari segi jumlah namun juga keinginan dari muda-mudi untuk mengikutinya.  Sebenarnya pendidikan di pasraman memiliki nilai yang cukup positif. Disamping kita bisa membuat masyarakat hindu kita lebih cinta terhadap hindu dan semua ajaran serta adat-istiadat yang dimilikinya.

Penyusunan makalah ini betujuan untuk melihat dan mengkaji beberapa hal diantaranya meliputi profile pasraman, system pendidikan pasraman, strategi dan model pembelajaran pasraman, serta kedudukannya di dalam meningkatkan pendidikan agama Hindu.

1.2.Rumusan Masalah

  • Bagaimanakah profil Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang?
  • Bagaimanakah Sistem Pendidikan Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang
  • Bagaimanakah Strategi dan Model Pembelajaran Agama Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang
  • Bagaimanakah kedudukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna dalam meningkatkan pendidikan Agama Hindu terhadap generasi muda hindu di lingkungan Desa Pakraman Rendang?

1.3  Tujuan

Tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut.

  • Tujuan Umum.
    • Dapat mengetahui Profile Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang
    • Dapat mengetahui Sistem Pendidikan Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang
    • Dapat mengetahui Strategi dan Model Pembelajaran Agama Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang
    • Dapat mengetahui kedudukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna dalam meningkatkan pendidikan Agama Hindu terhadap generasi muda hindu di lingkungan Desa Pakraman Rendang?

1.3.2    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan pada Program Pasca Sarjana (S2) IHDN Denpasar.

1.4  Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya dapat mengerti dan memahami Profile, Sistem Pendidikan Hindu, Strategi dan Model Pembelajaran Pasraman Kriya Sadhu Wiguna, serta dapat mengetahui kedudukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna dalam meningkatkan pendidikan Agama Hindu terhadap generasi muda hindu di lingkungan Desa Pakraman Rendang

  • Sebagai tambahan pemahaman awal dari kajian tentang pasraman dalam kaitannya dengan pendidikan Agama Hindu.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.  Pofile Pasraman Kriya Sadhu Wiguna

Pasraman Kriya Sadhu Wiguna  terletak di Desa Pakraman Rendang. Pesraman ini digagas tahun 2011 dan dibentuk pada tahun 2012. Pesraman ini didirikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan Hindu serta melihat adanya kesenjangan yang ada dimasyarakat bahwa semakin menurunnya minat anak-anak belajar tentang agama, khususnya agama Hindu. Untuk mengantisipasi hal tersebut, prajuru Desa Pakraman Rendang bersama tokoh-tokoh agama Hindu di  Desa Pakraman Rendang menggagas pembentukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna tersebut.

Pasraman ini berada langsung di Desa Pakraman Rendang. Pasraman ini dibentuk dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama umat Hindu dan sebagai wadah bagi siswa-siswi agar dapat meningkatkan minat dan bakat dalam bidang keagamaan. Dalam beberapa kali pergantian pengurusnya,  kepanitiaan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna disahkan kembali pada tanggal 30 Oktober 2016 melalui Surat Keputusan Bendesa Desa Pakraman Rendang Nomor: 14/SK.DP.Rd/X/2016, tentang Pengukuhan Panitia Pasraman “Kriya Sadhu Wiguna” Desa Pakraman Rendang, dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Penasehat : Bendesa Pakraman Rendang

Ketua       I           : I Wayan Sedana Putra

                 II         : I Ketut Sugiantara

Sekertaris   I         : I Ketut Suparta Adnyana

                 II         : I Komang Suparsawan

Bendahara  I        : I Made Putra Tanaya

                 II         : I Wayan Murtiana

Guru Pasraman/Anggota:

5
  • I Ketut Bendesa Wiadnyana
  1. I Kadek Abdiyasa
  2. Ni Ketut Kertiasih
  3. Ida Bagus Made Suryadi
  4. I Wayan Ada
  5. I Putu Agus Sudiana
  6. I Wayan Antara
  7. I Gede Adnya Puspa Suparta
  8. I Putu Suandika
  9. I Wayan Merta
  10. I Nengah Tamped
  11. I Wayan Nuryadi
  12. I Wayan Artika
  13. I Wayan Putra Adnyana

Sedangkan materi pembelajaran yang diberikan di pesraman Kriya Sadhu Wiguna adalah sebagai berikut : pengulasan materi pelajaran tentang agama Hindu, aksara bali, seni tari, dharma gita, dharma wecana, yoga, seni tabuh, dan upakara.

Melalui pesraman Kriya Sadhu Wiguna diharapkan menjadi Media komunikasi bagi anak-anak beragama Hindu di Desa Pakraman Rendang, dalam proses pembelajaran di pesraman ini, dengan diberikan pembinaan dibidang pelajaran tentang agama Hindu, aksara bali, seni tari, dharma gita, dharma wecana, yoga, seni tabuh dan upakara. Dengan demikian, pesraman menjadi media untuk membina anak-anak beragama Hindu untuk menjadi generasi yang memiliki moral berkarakter yang lebih baik.

Sebagai lembaga penyelenggara pembinaan anak-anak beragama Hindu mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA diharapkan pesraman memiliki fungsi:

  1. Penyelenggara prosesi pembelajaran pendidikan agama Hindu
  2. Pengembang kemampuan dasar pendidikan agama Hindu
  3. Lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama Hindu bagi warga yang memerlukannya
  4. Institusi yang mampu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan pengalaman nilai-nilai budi pekerti ajaran Hindu
  5. Menjadi mediator menjalin hubungan kerjasama antar warga pesraman dengan masyarakat Hindu

Siswa dalam pembinaan pesraman sebagai media komunikasi di lingkungan Desa Pakraman Rendang berkewajiban:

  1. Melaksanakan kewajiban sebagai brahmacari
  2. Hormat dan taat kepada Catur Guru
  3. Berkewajiban memelihara sarana dan prasarana, serta menjaga citra pesraman.

2.1.1 Keterangan Mengenai Pasraman Kriya Sadhu Wiguna

  1. Visi : “Sradha dan Bakti, Terampil, Cerdas Berprilaku Susila
  2. Misi :
  3. Memberikan Pemahaman Ajaran Agama yang benar melalui pembelajaran kontekstual dengan metode sad Dharma .
  4. Membiasakan siswa untuk hidup agamis dalam kehidupan sehari – hari.
  5. Mengembangkan setiap potensi, memotivasi dan menyediakan media yang Up to date dengan situasi dan kondisi perkembangan teknologi dan informasi melalui pembelajarn berbasis TIK.
  6. Mengoptimalkan kemapuan dan keahlian siswa melalui yang disesuaikan dengan bakat dan minat siswa.
  7. Memantau setiap prilaku siswa melalui buku kendali susila dari catatan orang tua, siswa, sekolah dan masyarakat.
  8. Fasilitas, Pengajar, dan Peserta Didik
  9. Beasiswa dari LPD Desa Pakraman Rendang.
  10. Terdapat buku bacaan, papan tulis, LCD, sound system.DLL
  11. Terdapat 14 guru pengajar.
  12. Kemitraan SD, SMP, SMA.
  13. Jumlah siswa 120 orang
  14. Prestasi yang pernah diraih

Sebagai Duta Kabupaten Karangasem dalam Parade Gong Kebyar Anak-anak Pesta Kesenian Bali ke-XXXIV Tahun 2012, Duta Kabupaten Karangasem dalam Lomba Bleganjur Tingkat Remaja dalam Pesta Kesenian Bali ke-XXXVII Tahun 2015, Duta Kabupaten Karangasem dalam Parade Gong Kebyar Anak-anak Pesta Kesenian Bali ke-XXXIX Tahun 2017.

  1. Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan Kegiatan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna diselenggarakan diluar jam sekolah yakni dari jam 17.00-20.00 wita. Kegiatan pembelajaran di Pasraman Kriya Sadhu Wigunan dilaksanakan tiga kali dalam seminggu, yakni pada hari Selasa, Kamis dan Minggu.

2.2 Sistem Pendidikan Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Desa Pakraman Rendang

Peraturan pemerintah No. 55 tahun 2007 pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan agama Hindu adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau mata kuliah pada semua jalur jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan agama Hindu yang dimaksud dalam peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007 pasal 38 merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, persantian, dan bentuk lain yang sejenis.

Berdasarkan pengertian pendidikan agama Hindu diatas dapat dikatakan bahwa Sistem Pendidikan Agama Hindu di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna memiliki peran penting dalam membentuk watak peserta didik dalam mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya. Sehingga dapat menumbuhkan sikap dan kepribadian yang baik, berbudi pekerti yang luhur serta selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui praktik-praktik keagamaan seperti dharma gita, praktik membuat sarana upakara agama, latihan menabuh, latihan tari wali (rejang, baris gede, sesolahan barong, topeng sidhakarya) dan yoga asanas. Melalui kegiatan pembinaan ini diharapkan para generasi muda khususnya generasi muda Hindu di Desa Pakraman Rendang dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang dijiwai oleh agama Hindu, sehingga nantinya terbentuk generasi penerus yang berjiwa mulia, berkarakter dan berakhal mulia serta beriman dan bertakwa terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.3 Strategi Dan Model Pembelajaran Pasraman

Proses pembelajaran adalah suatu system, dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi/bahan ajar, strategi/model pembelajaran. Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. Dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa. ( Syaiful. 2010)

Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (Knowledge) saja, sebenarnya tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa, sehingga jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.

Pendidikan keagamaan memegang andil yang tidak kecil dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa ada empat komponen tujuan pendidikan yang pencapaiannya menjadi beban pendidikan agama, yaitu :

  1. memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
  2. pengendalian diri,
  3. kepribadian dan
  4. akhlak mulia.

Keempat komponen di atas menunjukkan betapa besar pengaruh pendidikan agama dan betapa strategisnya posisi guru agama dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut di atas. Dengan kata lain pendidikan agama memiliki peranan yang besar dalam membina moralitas bangsa.

Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuannya, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu. Sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran dan dibedakan dari istilah strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi,  metode, dan teknik. Model Pembelajaran adalah suatu disain yang menggambakan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa.

Dalam proses pembelajaran ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Beberapa model pembelajaran yang digunakan oleh guru-guru di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna antara lain dengan menggunakan metode pembinaan agama Hindu yang dikenal dengan sad dharma, yaitu :

  1. Dharma Tula, yaitu bertimbang wirasa atau berdiskusi. Tujuan metode dharma tula adalah sebagai salah satu metode yang dapat dipakai sarana untuk melaksanakan proses pembelajaran agar siswa lebih aktif, dengan harapan para siswa nantinya mampu dan memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat serta dalam rangka melatih siswa untuk berargumentasi dan berbicara tentang keberadaan Hindu.
  2. Dharma Wacana, adalah metode pembelajaran agama Hindu yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan materi pembelajaran agama Hindu kepada siswa.
  3. Dharma Gita, adalah nyanyian tentang dharma atau sebagai dharma, maksudnya ajaran agama Hindu yang dikemas dalam bentuk nyanyian spiritual yang bernilai ritus sehingga yang menyanyikan dan yang mendengarkannya sama-sama dapat belajar menghayati serta memperdalam ajaran dharma.
  4. Dharma Yatra, yaitu usaha meningkatkan pemahaman dan pengalaman pembelajaran agama Hindu melalui persembahyangan langsung ke tempat-tempat suci.
  5. Dharma Sadhana, adalah realisasi ajaran dharma yang harus ditanamkan kepada siswa dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk selalu taat dan mantap dalam menjalankan ajaran agama Hindu.
  6. Dharma Santi, yaitu kebiasaan saling memaafkan di antara sesama umat, bahkan di antara umat beragama.

Selain metode sad Dharma, proses pembelajaran di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna juga memberikan praktik membuat sarana-prasarana upakara Agama Hindu. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada para siswa-siswi agar nantinya mereka bisa membuat sarana upakara dan upacara Agama Hindu. Sehingga kelak ketika sudah dewasa dan terjun di masyarakat mereka memiliki keterampilan dalam membuat sarana upakara.

Siswa-siswi Pasraman Kriya Sadhu Wigunan juga diberikan keterampilan khusus tari wali dan menabuh, keterampilan ini sangat berguna sekali untuk menopang kegiatan upacara keagamaan yang diselenggarakan di Desa Pakraman Rendang. Dengan adanya bekal keterampilan ini generasi muda Hindu khususnya di Desa Pakraman Rendang diharapkan nantinya mampu meneruskan warisan seni, budaya, tradisi serta nilai-nilai Agama Hindu.

2.4 Kedudukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna dalam meningkatkan pendidikan Agama Hindu terhadap generasi muda hindu di lingkungan Desa Pakraman Rendang

Swami Sivananda dalam All About Hinduism (1988:259) menjelaskan tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang Diri (Àtmà), dan dengan demikian seseorang akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati. Shri Sathya Narayana menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun karakter yang baik. Karakter adalah kepribadian seseorang yang menyangkut aspek moralitas, intelegensia, dan perilaku seseorang. (Sudarsana, 2008)

Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan  untuk memecahkan  problem sosial masyarakat dengan memobilisasi aksi  bersama. Masyarakat dalam konteks pendidikan berbasis adalah agen, tujuan sekaligus fasilitator dalam proses pendidikan. Formulasi pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan.  (Noer, 2001:13)

Implementasi pendidikan berbasis masyarakat di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna dalam meningkatkan pendidikan Agama Hindu terhadap generasi muda hindu di lingkungan Desa Pakraman Rendang melibatkan setiap warga masyarakat dapat memanfaatkan media pasraman sebagai tempat belajar bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru/pelatih, pengurus dan pelajar adalah semua warga masyarakat dari semua generasi. Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. Guru bertindak sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para siswa untuk mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji dengan cara pandang yang berbeda.

Pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru dengan siswa berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini sisywa dalam proses pembelajaran umumnya  berada dalam dominasi guru, maka dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat yang diterapkan di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna, siswa adalah pelaku utama dalam mengembangkan, mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator sejati  sebagai teman diskusi yang memberikan arah sisya dalam menggapai pengetahuan dan cita-citanya secara mandiri.

Model pembelajaran seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian siswa. Setiap pertemuan siswa dibimbing untuk melakukan praktik persembahyangan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas.

2.4.1 Pasraman Kriya Sadhu Wigunan Sebagai Media Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata ajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. (Wiguna dalam http://www.majalahraditya.com)

Adapun dalam agama Hindu pendidikan karakter berkaitan dengan karakter manusia yang mempengaruhi perilaku.  Ada dua kecenderungan yang mempengaruhi karakter manusia, yaitu sifat-sifa kedewataan (daivi sampat) dan sifat-sifat keraksasaan (asuri sampat). Kedua kecenderungan ini  secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk karakter manusia. Bila seseorang berkecenderungan daivi sampat yang menonjol, maka orang tersebut  senantiasa akan berbuat baik, namun bila kecenderungan asuri sampat maka ia akan menunjukkan perilakunya yang buruk.

Karakter negatif manusia dapat diperbaiki dengan berbagai cara di antaranya melatih seseorang untuk selalu berbuat baik. Melalui pendidikan karakter, manusia dapat dibentuk. Pendidikan karakter agama Hindu merupakan usaha atau upaya melalui pendidikan untuk merubah sifat buruk menjadi sifat dewata. Orang yang berkarakter adalah orang yang ekspresi hidupnya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan atau nilai-nilai spiritual. Menurut teks Hindu, karakter adalah sesuatu yang menjiwai tindakan-tindakan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang muncul, yang terekspresi di dalam pola berpikir, berbicara maupun bertindaknya tergantung dari karakternya.

Pasraman Kriya Sadhu Wiguna adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu. Lembaga ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu masih belum optimal. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan, disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.

Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka. Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (Knowledge) saja, sebenarnya tujuan pasraman Kriya Sadhu Wiguna sejalan dengan tujuan pendidikan agama Hindu  dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa. Oleh karena itu jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.

Terkait dengan konsep di atas dimaknai bahwa pendidikan agama Hindu menghendaki perubahan tingkah laku secara menyeluruh, utuh, dan integral yang meliputi seluruh aspek (potensi) yang ada pada diri manusia karena manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya, seperti tertuang dalam kitab sarasamuccaya Sloka 2 dan 4 sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subhasubha karma,kuneng panentasakêna ring subhakarma juga ikangasubhakarma phalaning dadi wwang.

Artinya:

Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.

Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana,wênang ya tumulung
awaknya sangkeng sangsāra, makasādhanangsubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.’’

Artinya:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

 Kesempurnaan tersebut dilihat dari potensi dasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, yaitu potensi yang memungkinkan mereka untuk berkembang dan memberdayakan alam semesta beserta segala isinya sebagai wahana mengembangkan diri dan mempertahankan kehidupannya. Ada tiga potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, yaitu Sabda (kemampuan untuk bersuara), Bayu (Potensi berupa tenaga) dan Idep (potensi akal pikiran) yang dikenal dengan Tri Pramana. Tumbuh-tumbuhan memiliki satu potensi dasar, yaitu tenaga untuk hidup atau bayu yang disebut Eka Pramana.  Hewan memiliki dua potensi dasar, yaitu tenaga (bayu) dan sabda (suara) yang disebut Dwi Pramana. Dan manusia dikatakan paling sempurna karena memiliki tiga potensi, yaitu bayu (tenaga), sabda (suara) dan idep (akal-pikiran) yang disebut Tri Pramana. Dalam konsep Bloom disebut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan memiliki tiga potensi dasar tersebut manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan berpikir atau akal yang dimilikinya dapat mengarahkan manusia dari perbuatan yang kurang baik dan mampu memperbaiki perilaku untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kemampuan tersebut menjadi potensi utama bagi manusia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya. Secara fisik manusia adalah makhluk terlemah, tidak tahan panas, hujan, dingin, kulitnya mudah tergores, namun mereka mampu mengatasi segala kelemahan fisik yang dimilikinya dengan mengembangkan dan menciptakan teknologi sehingga mereka dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu mendayagunakan alam semesta beserta segala isinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun pendayagunaan alam harus diimbangi dengan kecerdasan serta sikap yang arif dan bijaksana dengan penuh pertimbangan agar kelestarian alam senantiasa terjaga dengan baik, apabila alam tidak lestari, dapat menimbulkan bencana yang sangat dahsyat. Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

 

 


BAB V

PENUTUP

5.1  Kesimpulan

Dari pembahsan dan hasil pengamatan yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

  1. Pasraman “Kriya Sadhu Wiguna” memiliki visi, misi, serta kepengurusan organisasi yang jelas dan terstrukstur dalam kegiatan operasionalnya
  2. Fasilitas dan materi ajar kepada peserta kegiatan pasraman cukup memadai dan dapat menunjang penambahan kemampuan peserta.
  3. Melalui kegiatan pembinaan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna diharapkan para generasi muda khususnya generasi muda Hindu di Desa Pakraman Rendang dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang dijiwai oleh agama Hindu, sehingga nantinya terbentuk generasi penerus yang berjiwa luhur, berkarakter dan berakhak mulia serta beriman dan bertakwa terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

5.2  Saran

Dari kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran yaitu :

  1. Pertumbuhan kegiatan pasraman serupa dapat lebih digalakan lagi diberbagai tempat agar tercipta sumber daya manusia Hindu yang memiliki budi pekerti luhur dan berdaya saing.
  2. Agar keberadaan pasraman “Kriya Sadhu Wiguna” dipertahankan dan bahkan ditingkatkan dari waktu ke waktu baik dari segi sarana, pengajar, maupun bahan ajar yang dimiliki.
18
 


DAFTAR PUSTAKA

Ari Kunto, Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Renika Cipta. Jakarta

Depdiknas RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2010: Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta. Jakarta

Geriya, Wayan. 2004. Pasraman dan revitalisasi jati diri. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/1/9/op2.htm.

Kajeng, Nyoman. 1997. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Mantik, Agus. 2006. Pasraman dalam rangka sisdiknas. http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=article&pid=1708.

Noer, Kautsar Azhari, 2001. Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia : Menggugat Ketidak Berdayaan Sistem Pendidikan Agama, Dalam Jurnal Pluralisme No. 7 Edisi Juni 2006, Yogyakarta : Institut Dian.

Sapta Wiguna, I Wayan. 2015. Pesraman Sebagai Media Pendidikan. http://www.majalahraditya.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.

Sudarsana, I Ketut. 2008. Pengembangan Asram dalam Kerangka Sisdiknas. https://iketutsudarsana.file.wordprees.com. Diakses Tanggal 7 Mei 2016.

Suryanto, 2004, ‘Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu di Indonesia, Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula di India’, Tesis Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta

Tilaar. 2001. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta; Rineka Cipta

Tim Penyusun, Kurikulum Pendidikan Agama Hindu untuk SMA, 2004

Titib, Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.

Wiana, I. K., Penerapan Ajaran Weda di Bali, Majalah Hindu Raditya, Juni 2000, hal 26.

Ruslan, Rosady.2008:  Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, PT RajaGrafindo Persada. Jakarta

Narasumber :

  1. I Komang Gama (Bendesa Pakraman Rendang)
  2. I Wayan Sedana Putra (Ketua Pasraman)
  3. I Nyoman Jati (Perbekel Desa Rendang)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Keterangan Gambar 1:

Penari Baris Gede dan Rejang Dewa, Binaan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna

 


 Keterangan Gambar 2:

Penari Baris Gede dan Rejang Dewa, Binaan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Berpartisipasi dalam Karya Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Penataran Agung Besakih pada Tgl 15 April 2017.

Keterangan Gambar 3:

Anak-anak Pasraman Kriya Sadhu Wigunan dalam kegiatan ngayah di catus pata dalam rangka hari pangrupukan menyambut hari raya Nyepi caka 1939 tahun 2017

Keterangan Gambar 4:

Sesolahan Topeng Dalem yang dibawakan oleh penari binaan Pasraman Kriya Sadhu Wigunan dalam kegiatan ngayah di catus pata dalam rangka hari pangrupukan menyambut hari raya Nyepi caka 1939 tahun 2017

    Keterangan Gambar 5:

Kegiatan Dharma Wacana dan Dharmatula yang diselenggarakan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna, dengan narasumber Ida Pandita Acarya Nanda.

 

Keterangan Gambar 6:

Kegiatan praktik membuat sarana upakara yang diselenggarakan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna.

TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN

 

PASRAMAN KRIYA SADHU WIGUNA DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU TERHADAP GENERASI MUDA HINDU DI DESA PAKRAMAN RENDANG KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)

DHARMA ACARYA

OLEH :

I KETUT BENDESA WIADNYANA

NIM: 16.1.2.5.2.0933

(KELAS A)

KEMENTRIAN AGAMA

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

2017

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

              Atas asungkertha wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa kami dapat menyelesaikan penelitian kami dalam bentuk makalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar minat generasi hindu untuk mengikuti pasraman yang ada dilingkungan sekitar mereka.

            Sebagai tempat penelitian kami memilih pasraman “Kriya Sadhu Wiguna” sebagai tempat penelitian kami. Semoga hasil penelitian kami berguna bagi kita semua. Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah “Filsafat Pendidikan” yang telah membimbing dan memberikan kami arahan dalam melakukan penelitian.

Kami sadar dalam penulisan kami masih terdapat sangat banyak kekurangan, semoga kekurangan kami dapat dikoreksi agar lebih baik lagi kedepannya. Dan semoga makalah kami dapat berguna.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

                                                                                                Denpasar, 14 Maret 2017

                                                                                                                Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….        i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..        ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………        1

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………………..        3

1.3. Tujuan Penulisan………………………………………………………………..        4

     a.Tujuan Umum ………………………………………………………………….        4

  1. Tujuan Khusus ……………………………………………………………….. 4

1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………………..        4

BAB II PEMBAHASAN

          2.1   Pengertian Belajar……………………………………………………………..        5

2.2.1 Keterangan Mengenai Pasraman Kriya Sadhu Wiguna……        7

          2.2   Sistem Pendidikan Hindu Di Pasraman Kriya Sadhu Wiguna…        8

2.3  Strategi Dan Model Pembelajaran Pasraman………………………….        9

         2.4   Kedudukan Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Dalam Meningkatkan

                Pendidikan  Agama Hindu Terhadap Generasi Muda Hindu Di

                Lingkungan Desa Pakraman Rendang…………………………        12

2.4.1 Pasraman Kriya Sadhu Wiguna Sebagai Media Pendidikan

Karakter…………………………………………………………………..        13

BAB III PENUTUP

  1. Kesimpulan ………………………………………………………………………        18
  2. Saran ……………………………………………………………………………….        18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….        19

 
ii

 

Teknologi Pendidikan

IHDN Denpasar

MAKALAH

STRATEGI PEMBELAJARAN dengan MEMADUKAN TEKNOLOGI dan MEDIA

 

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah

Kajian Teknologi Pendidikan yang diampu oleh Dr. I Ketut Sudarsana. S.Ag, M.Pd.H

 

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)

DHARMA ACARYA

 

 

 

 

 

 

Oleh Kelompok 2

Kelas A

I Made Sujanayasa                                       (16.1.2.5.2.0918)

I Ketut Bendesa Wiadnyana                     (16.1.2.5.2.0933)

I Made Muliarta                                            (16.1.2.5.2.0934)

I Ketut Sandiyasa                                          (16.1.2.5.2.0935)

I Komang Sutarjana                                     (16.1.2.5.2.0932)

 

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

2017

 

 

KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan tugas ini lebih lanjut, akan penulis terima dengan senang hati.

Penulis menyadari bahwa tugash ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :

  1. I Ketut Sudarsana, S.Ag. M.Pd.H selaku dosen mata kuliah Kajian Teknologi Pendidikan yang telah memberikan materi, bimbingan serta pengarahan dalam proses pembuatan tugas ini.
  2. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan tugas

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan tugas ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan tugas ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.

 

Denpasar ,  Februari 2017

 

 

 

Penulis

 

                     DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………… 1

1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………. 2

1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1Strategi-strategi pengajaran yang memadukan antara teknologi

dan media …………………………………………………………………………………. 3

2.1.1 Teknologi dan Media Pembelajaran……………………………………….. 14

2.2.2 Media Pembelajaran……………………………………………………………. 15

2.3 Pusat Strategi Belajar……………………………………………………………………. 17

2.3.1 Strategi yang Berpusat pada Guru…………………………………………… 17

2.3.2 Strategi yang Berpusat pada Siswa…………………………………………. 17

2.4 Menciptkan Pengalaman Belajar…………………………………………………….. 18

2.4.1 Perspektif Behavioris…………………………………………………………….. 18

2.4.2 Perspektif Kognitifis……………………………………………………………… 19

2.4.3 Perspektif Konstruktivis………………………………………………………… 20

2.4.4 Perspektif Psikologi Sosial……………………………………………………… 21

2.5 Situasi dan Konteks Belajar…………………………………………………………… 22

2.5.1 Pengajaran Tatap Muka…………………………………………………………. 22

2.5.2 Belajar Jarak Jauh…………………………………………………………………. 23

2.5.3 Campuran…………………………………………………………………………….. 23

2.5.4 Belajar Mandiri terstuktur………………………………………………………. 24

2.5.5 Pembelajaran Informal tidak terstruktur…………………………………… 24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………… 26

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang  

Perkembangan teknologi yang semakin marak mempermudah manusia untuk melakukan segala aktivitas, sehingga belakangan teknologi memberikan efek candu bagi para penggunaanya. Seiring dengan hal tersebut, kini teknologi merambah ke dunia pendididkan. Para pendidik yang semakin modern kini memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Selain itu, mempersiapkan pendidik dengan praktik terbaik untuk menggabungkan teknologi dan media demi memenuhi kebutuhan peserta didik di abad 21 ini. Menarik memang kebutuhan peserta didik di zaman ini, maka pendidik harus bisa menyesuaikannya dan perlu meng-upgrade berbagai ilmu pengetahuan, disamping akan menumbuhkan kreatifitas bagi pendidik dan proses pembelajaran akan berlangsung dengan menyenangkan.

Teknologi pembelajaran awalnya di pandang sebagai teknologi yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana dengan menggunakan alat bantu.  Namun, kini teknologi pembelajaran merupakan teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar. Namun, tidak jarang para pendidik kurang tepat dalam memberikan strategi dalam pembelajaran yang memadukan antara teknologi dan media. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai macam-macam strategi pembelajaran dengan memadukan teknologi dan media.

 

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1.2.1 Apa saja strategi-strategi pengajaran yang memadukan media dengan teknologi dalam proses pembelajaran?

1.2.2 Dimanakah pusat strategi pengajaran dalam proses pembelajaran ?

1.2.3 Bagaimana guru dapat menciptakan pengalaman belajar bagi siswa ?

1.2.4 Bagaimana konteks dan situasi dalam proses pembelajaran ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui strategi pembelajaran yang memadukan antara media dengan teknologi.

1.3.2 Untuk Mengetahui pusat strategi dalam proses pembelajaran.

1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana guru dapat menciptakan pengalaman      belajar pada siswa.

1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana konteks dan situasi yang harus dilakukan oleh pendidik dalam proses pembelajaran.

 

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Dapat mengetahui strategi pembelajaran yang memadukan antara media dengan teknologi.

1.4.2  Dapat mengetahui pusat strategi dalam proses pembelajaran.

1.4.3 Dapat mengetahui bagaimana guru dapat menciptakan pengalaman      belajar pada siswa.

1.4.4 Dapat mengetahui bagaimana konteks dan situasi yang harus dilakukan  oleh pendidik dalam proses pembelajaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • Strategi-Strategi pengajaran yang memadukan antara teknologi dan media

 

Strategi pengajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara mengorganisasikan materi pelajaran peserta didik, peralatan dan bahan, dan waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam menentukan strategi pengajaran dengan memadukan teknologi dalam pembelajaran tentunya mempertimbangkan berbagai faktor karena mengingat penggunaan teknologi yang berpengaruh memungkinkan kecepatan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, generasi bangsa ini secara luas. Selain itu, akan mempengaruhi hasil belajar siswa, usia siswa dan juga kenyamanan menerapkan strategi yag digunakan. Maka bagi pendidik harus selektif pada pilihannya dan menggunakan berbagai pendekatan  yang membantu peserta didik untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan.

Berikut adalah jenis strategi pengajaran di dalam ruang kelas yang didukung dengan teknologi dan media selama proses pembelajaran berlangsung

  1. Presentasi

Dalam sebuah presentasi, sebuah sumber menyajikan atau menyebarkan informasi kepada pemelajar. Komunikasi dikendalikan oleh sumber dengan respons segera atau interaksi dengan pemelajar. Ketika guru menyajikan pembelajaran dengan presentasi, mereka akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk para siswa atau para siswa yang bertanya ketika bahan pengajaran sedang disajikan. Karena itu maka akan timbul interaksi antara keduanya dan guru bisa memilih untuk mengendalikan interaksi di dalam presentasi. Sumber yang didapatkan bisa melalui buku, internet, video, rekaman audio dan lain sebagainya.

 

  • Kelebihan
  1. Menyajikan hanya sekali, menyajikan informasi sekali saja bagi seluruh siswa.
  2. Strategi mencatat, siswa bisa mencatat untuk menangkap informasi yang disajikan.
  3. Sumber informasi, sumber daya teknologi, dan media bisa bertindak sebagai sumber informasi berkualitas.
  4. Presentasi siswa, para siswa bisa menyajikan informasi yang telah mereka pelajari.
  • Kekurangan
  1. Sulit bagi beberapa siswa, tidak seluruh siswa merespons dengan baik.
  2. Berpotensi membosankan, tanpa interaksi presentasi bisa menjadi sangat membosankan.
  3. Kesulitan mencatat, para siswa harus belajar mencatat hal-hal penting dari presentasi.
  4. Kesesuaian umur, siswa yang berusia lebih muda mungkin mengalami kesulitan mengikuti presentasi yang panjang.
  • Integrasi

Presentasi tidak selalu harus berupa guru di depan kelas memberi pengajaran. Para siswa bisa melihat video yang memberikan informasi yang mereka butuhkan tentang topik, dan bisa meliputi tampilan yang menarik tentang bidang studi tersebut. Bisa mengarahkan audio kedalam teks untuk mengarahkan pembelajaran siswa. Guru bisa langsung mengarahkan siswa di dalam kelas, menggunakan sumber daya seperti papan putih untuk catatan, transparan OHP atau slide power point.

  1. Demonstrasi

Dalam sebuah demonstrasi, para pemelajar melihat contoh nyata dari sebuah keterampilan atau prosedur untuk dipelajari. Demonstrasi mungkin direkam dan diputar ulang melalui sarana media seperti video. Jika ingin interaksi dua arah, diperlukan tutor yang hadir secara langsung.

  • Kelebihan
  1. Melihat sebelum melakukan, para siswa melihat sesuatu dikerjakan sebelum mereka melakukannya sendiri.
  2. Panduan tugas, guru bisa memandu sekelompok siswa untuk menyelesaikan sebuah tugas.
  3. Penghematan suplai, suplai yang terbatas diperlukan karena tidak semua orang akan menangani beberapa material.
  4. Keamanan, demonstrasi memungkinkan guru mengendalikan potensi bahaya bagi para siswa ketika menggunakan benda-benda tajam atau mesin yang berbahaya.
  • Kekurangan
  1. Tidak langsung dikerjakan, demonstrasi bukan merupakan pengalaman langsung dikerjakan bagi siswa kecuali mereka ikut mengerjakannya saat guru memperlihatkan tahapan atau keterampilannya.
  2. Pandangan yang terbatas, setiap siswa tidak memiliki pandangan yang setara terhadap demonstrsi, sehingga beberapa siswa mungkin melewatkan beberapa aspek pengalaman tersebut.
  3. Masalah mengikuti, tidak semua siswa bisa mengikuti demonstrasi ketika hanya satu tahapan tunggal yang digunakan.
  • Integrasi

Guru bisa menyiapkan video demonstrasi di depan kelas, guru juga bisa memanfaatkan benda aktual untuk demonstrasi. Seperti cara melakukan panca sembah guru bisa menampilkan video ataupun seorang guru mempraktikan cara panca sembah terhadap siswa.

 

 

 

 

  1. Latihan dan praktik

Dalam latihan dan praktik, para pemelajar dibimbing melewati serangkaian latihan praktis yang dirancang untuk menyegarkan kembali atau meningkatkan penguasaan pengetahuan konten spesifik atau sebuah keterampilan baru.

  • Kelebihan
  1. Umpan balik untuk memperbaiki. Para siswa mendapatkan umpan balik sebagai tindak perbaikan atas respons mereka
  2. Memisah-misah informasi. Informasi disajikan dalam potongan kecil
  3. Praktik yang telah terbentuk. Praktik dibentuk menjadi potongan-potongan kecil informasi
  • Kekurangan
  1. Tidak semua siswa merespons dengan baik sifat repetitif dari latihan dan praktik.
  2. Berpotensi membosankan. Para siswa bisa menjadi bosan kaarena terlalu banyak pengulangan.
  3. Potensi belajar. Jika siswa melakukan kesalahan yang sama, penerapan latihan dan praktik tidak membantu siswa dalam belajar
  • Integrasi

Latihan dan praktik biasanya digunakan untuk mata pelajaran matematika, belajar bahasa ataupun untuk mengembangkan bahasa asing. Media dan sistem pengajaran biasanya bagus diterapkan untuk media latihan dan praktiknya. Seperti kaset audio, kartu flash, dan worksheet dapat digunakan secara efektif untuk latihan dan praktik, untuk pelajaran mengeja, aritmatika, dan bahasa.

  1. Tutorial

Dalam tutorial, seorang tutor menyajikan konten, mengajukan pertanyan, meminta respons dari pemelajar, menganalisis respons tersebut, memberikan umpan balik, dan memberikan praktik hingga para pembelajar menunjukkan level dasar kompetensi.

Perbedaan antara tutorial dan latihan dan praktik adalah bahwa tutorial memperkenalkan dan mengajarkan materi baru, sementara latihan dan praktik fokus pada konten yang diajarkan dalam format lainnya. Para siswa seringkali bekerja mandiri atau satu lawan satu dengan seseorang saat mereka diberikan paket kumpulan kecil informasi yang dirancang untuk dibentuk menjadi sekumpulan pengetahuan dan praktik dengan umpan balik.

  • Kelebihan
  1. Bekerja mandiri. Para siswa bisa bekerja mandiri mengenai materi baru dan menerima umpan balik tentang kemajuan mereka
  2. Menakar sendiri kemajuan. Para siswa bekerja berdasar tingkat kemajuan mereka sendiri
  3. Tutorial berbasis komputer bisa merespons masukan para siswa dan mengarahkan proses belajar mereka menuju topik baru
  • Kekurangan
  1. Berpotensi membosankan.
  2. Berpotensi membuat frustasi.
  3. Berpotensi kekurangan panduan
  • Integrasi

Guru dapat mempertimbangkan menggunakan teknologi dan media sebagai cara menyampaikan tutorial. Pelaksanaan tutorial meliputi instruktur ke pemelajar, pemelajar ke pemelajar (misalnya, pemberian tutorial dengan sesama rekan atau pusat belajar), komputer ke pemelajar (misalnya, peranti lunak tutorial yang dibantu komputer) dan cetakan ke pemelajar. Komputer secara khusus dibuat untuk menjalankan peran tutor karena kemampuannya menyampaikan menu respon yang kompleks terhadap berbagai masukan yang berbeda dari para siswa.

 

 

 

 

  1. Diskusi

Diskusi adalah pertukaran gagasan dan opini diantara para siswa atau guru. Diskusi bisa digunakan dalam tahap pembelajaran dan pengajaran apapun, bisa dengan membagi kelompok kecil maupun kelompok besar. Strategi ini merupakan cara yang bermanfaat dalam mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari sekelompok siswa sebelum mengakhiri tujuan pengajaran, terutama ketika memperkenalkan topik baru atau pada permulaan tahun ajaran baru ketika guru belum memahami para siswa.

  • Kelebihan
  1. Diskusi lebih menarik daripada duduk dan menyimak seseorang menguraikan fakta-fakta.
  2. Siswa ditantang untuk memikirkan tentang topik dan menerapkan apa yang telah mereka ketahui.
  3. Diskusi memberikan kesempatan bagi seluruh siswa untuk berbicara
  4. Kesempatan bagi gagasan baru. Siswa mungkin dapat menghasilkan gagasan baru saat berdiskusi.
  • Kekurangan
  1. Berpotensi melibatkan partisipasi terbatas.
  2. Terkadang tidak menantang.
  3. Tingkat kesulitan.
  4. Kesesuaian usia.
  • Integrasi

Menampilkan sebuah video bisa memberikan pengalaman umum dan jika menampilkan isu yang tepat memberikan sesuatu untuk didiskusikan. Dengan mengarahkan diskusi menuju hasil-hasil belajar, mungkin bahwa para siswa akan menentukan sendiri kebutuhan untuk mempelajari lebih jauh tentang topik tersebut sebelum mereka bisa sepenuhnya berpartisipasi dalam sebuah diskusi.

 

  1. Belajar kooperatif

Belajar kooperatif merupakan strategi pengelompokan dimana para siswa bekerja sama untuk saling mendapat keuntungan dari potensi belajar anggota lainnya. Pembelajaran kooperatif ini membuat siswa dapat bekerjasama dan adanya partisiasi aktif dari siswa. Guru sebagai fasilisator dan pembimbing yang akan mengarahkan setiap peserta didik menuju pengetahuan yang benar dan tepat.

  • Kelebihan
  1. Manfaat belajar. Mengelompokkan siswa dengan kemampuan yang bergam memberikan keuntungan bagi seluruh siswa.
  2. Formal atau informal. Kelompok dapat bersifat formal atau informal
  3. Kesempatan belajar. Menciptakan kesempatan belajar yang beragam
  4. Area konten. Seluruh area konten bsa disertakan dalam aktivitas belajar kelompok
  • Kekurangan
  1. Keterbatasan ukuran. Kelompok harus berukuran kecil.
  2. Berpotensi berlebihan-digunakan. Belajar kooperatif bisa digunakan secra berlebihan dan bisa kehilangan keefektifannya.
  3. Keterbatasan anggota kelompok.
  • Integrasi

Para siswa bisa belajar kooperatif tidak hanya dengan mendiskusikan materi teks dan menyaksikan media, tetapi juga dengan membuat media. Contohnya,  diruang kelas hanya memiliki beberapa komputer untuk digunakan, maka pembentukan kelompok kooperetif dimungkinkan sehingga seluruh siswa bisa mengaksesnya. Dengan mengelompokkan siswa, dapat memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menggunakan komputer.

  1. Permainan

Pembelajaran dengan menggunakan permainan dapat membuat pemelajar tertarik bahkan termotivasi terutama yang membosankan dan repetitive. Teknik permainan ini tidak jarang menuntut keterampilan pemelajar untuk memecahkan permasalahan, kemampuan untuk menghasilkan solusi, atau memperlihatkan penguasaan atau konten spesifik yang mengharuskan tingkat akurasi dan efisiensi yang tinggi. Permainan memberikan kompetitif yang di dalamnya para siswa mengikuti aturan yang telah ditetapkan saat mereka berusaha mencapai tujuan pendidikan yang menantang.

  • Kelebihan
  1. Keterlibatan para siswa.
  2. Permainan dapat disederhanakan agar sesuai dengan tujuan belajar
  3. Permainan dapat digunakan dalam berbagai suasana ruang kelas.
  4. Permainan bisa menjadi cara yang efektif agar siswa tertarik pada materi
  • Kekurangan
  1. Permainan bisa bersifat kompetitif, kecuali kalau diawasi dengan baik
  2. Siswa yang kurang mampu akan sulit mengikuti permainan
  3. Beberapa permainan, terutama permainan komputer bisa sangat mahal
  4. Niat yang salah arah. Tujuan belajar mungkin hilang karena adanya keinginan untuk menang
  • Integrasi

Dalam teknik permainan banyak sekali yang dapat diterapkan dalam pembelajaran. Seperti puzzle bisa digunakan untuk menerapkan informasi yang harus siswa pelajari misalnya kata ejaan atau nama ibu kota. Contoh lainnya, untuk mempraktikkan kosakata baru, mungkin saja diciptakan sebuah permainan papan untuk sebuah pusat belajar. Para siswa akan bisa bekerja berpasangan atau dalam kelompok kecil untuk mempraktikkan kata-kata mereka sambil menikmati permainan. Ataupun apabila untuk belajar rumus matematika bisa juga menggunakan permainan bingo.

 

 

  1. Simulasi

Simulasi melibatkan para siswa menghadapi situasi kehidupan nyata dalam versi diperkecil. Memungkinkan praktik realistik tidak akan melibatkan banyak biaya hanya saja melibatkan dialog peserta, manipulasi materi dan perlengkapan, atau interaksi dengan komputer. Simulasi bisa mewakili sesuatu yang terlalu besar ataupun kompleks untuk ditampilkan. Misalnya ketika ingin menyembelih hewan qurban, tidak mungkin kita akan membawa hewan ke dalam kelas, tetapi cukup membawa barang tiruannya saja, atau bisa juga siswa diajak untuk bermain peran hal itu termasuk salah satu contoh dari strategi simulasi.

  • Kelebihan
  1. Simulasi menyediakan cara yang aman untuk terlibat dalam pengalaman belajar
  2. Reka ulang sejarah. Misalnya memainkan peran dalam sejarah romawi kuno
  3. Langsung dilaksanakan. Siswa memiliki kesempatan berpengalaman langsung
  4. Berbagai tingkat kemampuan. Siswa dengan berbagai tingkatan kemampuan bisa ikut serta
  • Kekurangan
  1. Representasi yang diragukan
  2. Kompleksitas
  3. Sesuatu yang baru mungkin sulit
  4. Keharusan menanya ulang
  • Integrasi

Keterampilan antarpersonal dan percobaan laboratorium dalam ilmu fisika merupakan bidang studi yang populer untuk simulasi.  Bermain peran merupakan salah satu contoh dari strategi simulasi.

 

 

 

  1.  Penemuan

Strategi penemuan menggunakan pendekatan induktif, atau penyelidikan, untuk belajar. Strategi ini menyajikan masalah untuk diselesaikan melalui percobaan kesalahan. Pendekatan umum yang biasa digunakan untuk penemuan yaitu dengan metode ilmiah meliputi pembentukan hipotesis, pertanyaan, mencoba solusi yang mungkin, dan menganalisis informasi yang dipelajari untuk menentukan apakah pendekatan tersebut berhasil. Maka siswa akan menemukan jawaban atas sebuah pertanyaan tersebut.

  • Kelebihan
  1. Melibatkan para siswa di seluruh tingkatan pembeajaran
  2. Langkah-langkah yang berulang. Menggunakan prosedur yang telah diajarkan sebelumnya
  3. Kendali siswa atas pembelajaran. Siswa merasa bisa mengendalikan proses belajar mereka sendiri
  • Kekurangan
  1. Faktor waktu. Memakan banyak waktu dari segi perancangan dan pelaksanaan
  2. Membutuhkan pemikiran adanya kemungkinan masalah yang mungkin ditemui para siswa
  3. Bisa mengakibatkan salah pengertian
  • Integrasi

Teknologi dan media pengajaran bisa membantu meningkatkan penemuan atau penyelidikan. Misalnya, video bisa digunakan untuk pengajaran penemuan dalam ilmu-ilmu fisik. Contoh pelajaran fisika yaitu dengan menampilkan tayangan sebuah balon yang ditimbang sebelum dan sesudah diisi dengan udara, para siswa menemukan bahwa udara memiliki berat.

 

 

 

  1. Penyelesaian masalah

Penyelesaian masalah melibatkan penempatan para siswa dalam peran aktif berhadapan dengan masalah baru yang ditemukan dalam kehidupan nyata. Di mulai dari pengetahuan terbatas tetapi melalui kolaborasi dengan rekan, penelitian dan konsultasi dengan ahli, mereka mengembangkan, menjelaskan, dan mempertahankan solusi atau posisi mengenai masalah tersebut.

  • Kelebihan
  1. Para siswa secara aktif terlibat dalam pengalaman belajar dunia nyata.
  2. Konteks untuk belajar. Hubungan antara pengetahuan dan keterampilan menjadi jelas.
  3. Tingkat kerumitan. Kerumitan masalah bisa dikendalikan, akan lebih banyak tingkatan seiring jalannya waktu.
  • Kekurangan
  1. Sulit untuk diciptakan. Sulit untuk menciptakan masalah yang berkualitas untuk pembelajaran.
  2. Kesesuaian usia. Usia dan tingkat pengalaman para siswa mungkin membutuhkan lebih banyak kontrol dari guru.
  3. Makan waktu. Memakan waktu dalam ruang kelas
  4. Membutuhkan menanyakan ulang. Guru harus menyisihkan waktu untuk menanya ulang para siswa tentang hal yang sudah mereka pelajari.
  • Integrasi

Guru bisa menggunakan teknologi dan media yang ada untuk memperkaya masalah yang akan disajikan. Contohnya masalah yang terstruktur yaitu pembelajaran matematika dalam soal cerita sering kali merupakan aplikasi terstruktur dari kemampuan perhitungan matematika yang telah dikuasai siswa. Ketika mereka memahami masalahnya, mereka mampu menerapkan kemampuan matematika yang tepat dan mendapatkan jawab-annya. Sedangkan aplikasi yang kurang terstruktur yaitu pembelajaran seni yang mana ketika akan membuat sebuah gambar, mungkin saja meminta siswa menggunakan bahan-bahan untuk merancang sebuah gambar yang menggambarkan impian mereka. Para siswa bisa menciptakan gambar yang sederhana atau rumit yang menghasilkan keterampilan seni baru yang mereka pelajari.

  • Teknologi dan Media Pembelajaran

2.2.1 Teknologi Pembelajaran

Secara etimologi kata teknologi berasal dari kata “techne” yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek atau kecakapan tertentu, atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni.

Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis ilmu pengetahuan terapan. Teknologi juga bisa berarti keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata ”instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut instructus atau “intruere” yang berarti menyampaikan pikiran, dengan demikian arti instruksional (pembelajaran) adalah menyampaikan pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan.

Menurut definisi commission Intruction Tehnology (CIT) 1970, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis….bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.

Teknologi pembelajaran merupakan usaha sistematis dalam merancang, melaksanakan, dan mengavaluasi keseluruhan proses belajar untuk suatu tujuan pembelajaran khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi  pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan nonmanusia agar belajar dapat berlangsung efektif.

2.2.2 Media Pembelajaran

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan.  Dalam Proses belajar mengajar di kelas, Media berarti sebagai sarana yang berfungsi menyalurkan pengetahuan dari Guru kepada peserta didik. Kelancaran Aplikasi Model Pembelajaran sedikit banyak ditentukan pula oleh Media Pembelajaran yang digunakan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran dalam penelitian Kuantitatif maupun Kualitatif juga menjadi ukuran penting dalam proses pembuktian  hipotesa. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.

Media memiliki beberapa fungsi, diantaranya :

  1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
  2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena : (a) obyek terlalu besar; (b) obyek terlalu kecil; (c) obyek yang bergerak terlalu lambat; (d) obyek yang bergerak terlalu cepat; (e) obyek yang terlalu kompleks; (f) obyek yang bunyinya terlalu halus; (f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
  3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
  4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
  5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
  6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
  7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
  8. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak.

 

Terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya:

  1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
  2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
  3. Projected still media : slide; (OHP), LCD Proyektor dan sejenisnya
  4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.
  5. Study Tour Media : Pembelajaran langsung ke obyek atau tempat study seperti Museum, Candi, dll.

2.3 Pusat Strategi Belajar

Strategi pengajaran dibagi menjadi dua kelompok yaitu berpusat pada guru, yang diarahkan secara spesifik oleh guru, dan berpusat pada siswa, yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan para siswa. Dalam kedua kelompok tersebut, guru merupakan kunci bagi perancangan pengajaran. Yang menjadi perbedaan adalah fokus atau orientasi dari strategi tersebut.

2.3.1 Strategi yang berpusat pada guru

Strategi yang berpusat pada guru, dimana seorang guru menjadi pusat dan sumber belajar dalam proses pembelajaran. Guru bertindak mengarahkan fokus, bertindak mengarakan belajar melalui cara-cara yang mengandung tujuan. Seringkali strategi pembelajaran ini dikenal dengan istilah teacher based learning. Oleh karena itu, salah satu hal yang sangat mendasar untuk dipahami guru adalah bagaimana memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen bagi keberhasilan kegiatan  belajar-mengajar sama pentingnya dengan komponen-komponen lain dalam keseluruhan komponen pendidikan.

2.3.2 Strategi yang berpusat pada siswa

Strategi yang berpusat pada siswa fokus pada siswa yang memimpin yang mengarahkan pada stuasi belajar. Guru masih bertanggungjawab atas perencanaan dan pengembangan mata pelajaran yang fokus pada siswa yang di pusat pembelajaran. Peran guru beralih menjadi fasilitator belajar, seringkali  strategi yang dilakukan dengan bekerjasama, individual, kelompok kecil dan membantu para siswa untuk fokus pada pencapaian hasil yang diinginkan.

 

2.4  Menciptakan pengalaman belajar

Premis bagi tiap-tiap teori belajar menjelaskan prinsip dasar yang berkaitan dengan hasil belajar yang diinginkan. Melibatkan siswa dalam proses belajar adalah yang harus guru lakukan untuk memastikan mereka bisa memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan. Dalam menciptakan pengalaman belajar akan dikaitkan dengan prespektif dari teori belajar.

2.4.1 Perspektif behavioris

Menurut F. Skinner bahwa suasana pengajaran diciptakan untuk memastikan bahwa kita akan bisa mengamati respon siswa. Ia menyakini bahwa para guru harus melakukan penguatan bagi perubahan perilaku, yang diistilahkan sebagai belajar. Gagasannya bermaksud bahwa guru bisa menyatakan seberapa baik seorang siswa menampilkan respons spesifik, atau perilaku. Para guru akan bisa mengamati kinerja para siswa dan menakarnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. (Gredler, 2005) Beberapa guru memandang bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar.

Skinner berpendapat bahawa pentingnya bagi seorang guru untuk menciptakan iklim yang positif di dalam ruang kelas, karena perilaku dalam kelas bisa diubah untuk mendekati yang dianggap sebagai perilaku ruang kelas dengan “baik”. Para guru bisa menciptkan “perekonomian mata uang” dimana para siswa yang berperilaku sesuai dengan aturan ruang kelas akan menerima ganjaran kecil atau mata uang, yang bisa ditukar dengan “hadiah”. Sering kali hadiah tersebut berupa keistimewan khusus atau jenis benda-benda tidak nyata (nontangible) lainnya, seperti waktu tambahan di arena bermain. Hadiah membutuhkan sejumlah mata uang. Jadi, siswa yang “berperilaku baik”`akan mendapatkan hadiah dengan membelanjakan sejumlah mata uang yang sesuai. Para siswa yang tidak beperilaku baik akan kehilangan sebuah mata uang, dan mungkin jumlahnya tidak mencukupi untuk mendapatkan hadiah.

2.4.2  Perspektif kognitifis

Para kognitif menyakini bahwa pembelajaran tetap berlangsung, pikiran para siswa harus secara efektif terlibat dalam memproses informasi, karena keterlibatan sangat penting dalam pengikatan dalam kembali informasi di waktu-waktu belakangan. Mereka juga menyakini bahwa individu “mengarsip” informasi dalam ingatan mereka sesuai dengan pola organisasi, atau skema, yang unik bagi tiap individual (Neath, 1998). Para siswa akan mempelajari informasi baru dan menyimpangan berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan ekspektasi mereka yang ada mengenai informasi tersebut.

Prepektif kognitivis memengarui strategi pengajaran dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa informasi harus diatur dalam cara spesifik untuk menjamin pemelajar akan bisa menggunakan pengetahuan tersebut berdasarkan skema mereka sendiri. Menurut para kognitivis, pemrosesan pengetahuan faktual bergantung pada bagaimana pengetahuan sebelumnyadiatur oleh individu (Bors & MacLeod, 1996). Jika itu dilakukan dalam cara yang “teratur” siswa akan memproses informasi dengan cepat dan afisien. Kongnitivis menyakini bahwa guru harus menyajikan informasi melalui strategi spesifik yang teratur, seperti presentasi dan demonstrasi.

Salah satu penerapan kognitivis dalam pengajaran adalah penggunaan advance organizer, bedings atau autline, untuk memandu para pemelajar saat mereka memproses informasi. Gagasan mengenai advance organizer diperkenalkan oleh David Ausubel, yang berpendapat bahawa panduan ini menyediakan penopang (scaffolds) bagi para pemelajar ketika gagasan-gagasan diatur oleh pemelajar. Ia berpendapat bahwa ketika disajikan sebelum pengajaran, panduan-panduan ini akan membantu para pelajar untuk mengaitkan informasi yang diajukan dengan konsep dan gagasan yang telah mereka atur daam skema mereka. Advance organizer bisa berupa format berbasis teks, grafis, atau audio, tetapi yang terpenting adalah bahwa format tersebut mengidentifikasi kata-kata atau frasa kunci untuk membantu para pemelajar memproses informasi.

Ketika membahas metakognisi, para kognitivis sering kali berpendapat bahwa cara terbaik untuk membantu para siswa belajar tentang pemikiran mereka sendiri adalah melalui penggunaan strategi penggunaan masalah, yang memberikan mereka masalah dunia nyata yang bisa diselesaikan melalui proses yang tersetruktur yang para siswa telah pelajari. Gagasanya adalah memberikan siswa masalah yang bisa mereka selesaikan yang bergantung pada pengetahuan atau keterampilan spesifik yang mereka miliki, dan yang akan memandu mereka tidak hanya berhasil mengatasi situasi, tetapi juga memperoleh pengetahuan tambahan dalam cara mereka berfikir. Metode lainnya dalam membangun keterampilan metakognisi pada siswa adalah melalui penulisan reflektif yang disertakan dalam portofolio karya para siswa. Strategi seperti penemuan dan penyelesaian masalah membuat para siswa merefleksikan pengalaman belajar mereka.

2.4.3 Prespektif konstruktivis

Kalangan konstruktivis menyakini bahwa para siswa membentuk pengetahuan sendiri dan menciptakan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan (Bredo, 2000). Kalangan kontruktuvis berpendapat bahwa para pembelajar harus memiliki peran aktif dalam proses belajar, bahwa mereka bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan pengatur dari proses belajar mereka. Seanjutnya, sebagian besar kontruktivis menyakini bahwa para pemelajar terlibat dalam proses belajar dengan menempatkan pengalaman mereka ke dalam kenyataan. Mereka merasa bahwa pemelajar tidak bisa mempelajari sesuatu tanpa pertama-tama memahami bagaimana sesuatu itu disesuaikan dengan dunia nyata.

Kalangan kontruktivis menyakini bahwa guru merupakan fasilitator penting bagi siswa, yang memberikan mereka panduan di sepanjang pengalaman belajar mereka. Guru membantu jenis bentuk pengalaman mengajar yang para siswa miliki, berdasarkan kebutuhan spesifik mereka pada waktu tertentu. Di dalam ruang kelas, prespektif kontruktivis mungkin saja di pandang sebagai pendekatan holistik untuk membaca atau menulis. Guru menyediakan bahan bagi para siswa untuk dibaca tentang konteks atau topik yang menarik bagi mereka untuk dipelajari. Atau, ketika siswa menulis, mereka bergantung pada rekan dan guru mereka untuk membantu mereka meningkatkan kemampuan menulis mereka, tetapi topiknya berkaitan dengan bacaan atau minat mereka. Contoh lain dari situasi belajar kontruktivis adalah ketika seorang guru menyiapkan sebuah pusat belajar dengan menggunakan strategi penyelesaian masalah, yang dirancang untuk memberikan bahan-bahan kepada para siswa dan problem untuk diselesaikan, seperti bagaimana untuk mengatasi masalah lalu lintas di depan sekolah. Para siswa di tantang untung mengatasi masalah tersebut.

Guru mungkin memilih belajar kooperatif sebagai strategi. Dengan bekerja dalam kelompok kolaboratif, para siswa diberikan peta, jadwal bus, materi untuk mengumpulkan informasi tentang isu lalu lintas, dan materi-materi lainnya dimana mereka harus “mengatasi masalah”. Peran guru adalah mengajukan pertanyaan yang menantang, yang mendorong para siswa untuk melanjutkan penyelidikan mereka hingga berhasil menyelesaikan masalah. Ketika guru menyadari diberikan suatu keterampilan atau area pengetahuan tertentu, guru bisa mengarahkan para siswa menuju sumber daya yang mereka bisa gunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Yang penting pula bagi jenis pemelajaran ini adalah kemampuan guru dalam menetapkan norma sosial untuk pekerjaan kolaboratif dan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan panduan tanpa mempersempit pengalaman belajar bagi para siswa (Cobb dan Bowers, 1999).

2.4.4 Prespektif Psikologi Sosial

Penelitian awal dibidang psikologi oleh Bandura dan Vygotsky mengindikasikan mereka mengalami kesulitan memahami bagaimana behavioris bisa “mengabaikan” keadaan sosial atau lingkunagan di sekitar para pemelajar (Gridler, 2005). Keduanya berpendapat bahwa pemelajar tidak belajar dalam lingkungan yang terisolasi atau terpisah dari pemelajar lainnya. Vygotsky menyakini bahwa proses kognitif terus berubah dan memengarui perkembangan pemikiran yang lebih tinggi pada individu. Ia menyakini bahawa tingkat pemikiran ini merupakan bentuk penalaran bentuk “penalaran kultural”, atau berpikir seperti orang-orang yang ada disekitar para siswa. Dengan kata lain, orang-orang di masyarakat memengaruhi cara berfikir dan belajar para siswa dan pengaruh ini berbeda-beda menurut masyarakat dan kelompok kulturalnya.

Didalam ruang kelas, prespektif psikologi sosial mungkin terlihat sebagai konsenkuaensi dari perilaku tertentu yang ditampilkan oleh kelompok. Sebagai misal, jika seseorang berbicara melebihi gilirannya, maka aturan kelas menginggatkan bahwa siswa tersebut akan melampoi periode jeda. Atau, contoh lainnya adalah “tingkatan bintang emas”, di dalam ruang kelas, yang menampilkan nama-nama siswa dengan bintang-bintang karena keberhasilan menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Kedua jenis situasi sosial ini membantu para siswa untuk mengamati perilaku yang tepat yang diharapkan atas diri mereka di dalam situasi belajar.

2.5 Situasi dan konteks belajar

Keragaman strategi pengajaran yang tersedia bagi guru sangat banyak dan mencankup sejumlah situasi belajar yang berbeda-beda. Ketika memilih strategi, perlu mempertimbangkan keadaan para siswa di dalam ruang kelas. Semabari, mempertimbangkan strategi untuk dipadukan ke dalam pengajaran, perlu mempertimbangkan pengalaman seperti apa yang akan didapat para siswa dengan sumber daya teknologi dan media tertentu.

2.5.1 Pengajaran tatap muka dikelas

Pengajaran dengan tatap muka dikelas merupakan situasi belajar yang paling akrab dan semua sudah mengenalnya. Sebagaian besar dari kita telah merasakan berada di ruang kelas bersama guru dan terlibat dalam aktivitas belajar. Pengajaran tatap muka tetap menjadi jenis situasi pengajaran paling sering ditemui di dalam kelas.

Ketika sedang mempertimbangkan jenis strategi pembelajaran yang akan digunakan dalam situasi ruang kelas, pilihannya terlihat tidak terbatas. Karena guru hadir di dalam kelas dan para siswa bergerak kesana kemari di dalam kelas, strategi-strategi yang di bahas terlihat mudah untuk dipadukan ke dalam pengajaran. Situasi ruang kelas memang mengharuskan guru menghabiskan waktu untuk mengatur situasi, menyusun dan menyiapkan materi, menyipakan para siswa untuk belajar, dan meninjau kembali apa yang telah berhasil dilakukan dan apa yang mungkin butuh perbaikan.

       2.5.2  Belajar jarak jauh

Sebenarnya, belajar jarak jauh telah hadir dalam waktu yang cukup lama, di mulai sekitar seratus tahun yang lalu dengan studi korespondensi menggunakan surat, namun inovasi lebih terbaru dalam media dan teknologi telah menjadikannya lebih nyaman dan lebih dinamis. Sebagai seorang guru, jika di undang untuk mengajar dalam jarak jauh, harus memikirkan tentang ruang kelas yang seolah-olah dibagi menjadi banyak kecil. Ketika memikirkan dengan cara demikian, maka bisa mempertimbangkan cara-cara untuk mengajar dalam situasi demikian. Tidak seluruh siswa akan berada di ruang kelas yang sama, sebagian mungkin tidak bisa mendengar atau melihat. Pilihan pengajaran yang di pilih akan bergantung pada sumber daya teknologi mana yang di miliki dan apa yang bisa dilakukan dengan sumber daya tersebut. Selain itu, juga harus memikirkan bagaimana memberikan materi-materi kepada siswa secara efisien dan efektif. Hal ini merupakan tantangan, tapi sejalan dengan perkembangan teknologi, lebih banyak pengajaran bisa di berikan jarak jauh.

2.5.3 Campuran

Sesuai namannya, pengajaran campuran, terkadang di sebut pengajaran hibrida, menggabungkan dan mencocokkan berbagai situasi pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa. Pengajaran campuran paling umum ditentukan dalam situasi belajar jarak jauh. Situasi belajar jarak jauh campuran merupakan bauran jenis situasi dalam waktu bersamaan (misalnya, saling tatap muka atau video atau televisi real time) dan jenis situasi pengajaran tidak dalam waktu bersaman, ketika guru dan siswa tidak berada dalam waktu bersamaan (misalnya, pengajaran online atau yang berbasis web). Situasi belajar dibagi-bagi agar sesuai dengan kebutuhan pengajaran para siswa dan strategi pengajaran yang sedang digunakan, sebagai seorang guru perlu memutuskan kapan yang paling efektif bagi para siswa untuk berada dalam situasi fisik aktual bersama dengan guru dan kapan mereka bisa bekerja lebih mandiri.

2.5.4 Belajar mandiri terstruktur

Banyak dari penelitian Skinner yang belakangan berkembang di sekitar gagasan bahwa para siswa bisa mempelajari informasi dan mendapatkan keterampilan tanpa pengajaran langsung guru. Ia mempengaruhi banyak orang untuk mengembangkan mesin pengajar yang dirancang untuk membantu siswa belajar secara mandiri, tetapi menggunakan materi terstruktur. Gagasannya adalah bahwa siswa bisa mempelajari informasi tanpa interfensi langsung. Dengan menyiapkan situasi belajar yang di arahkan sendiri, menggunakan materi yang dipilih atau dikembangkan sendiri. Para siswa akan bisa belajar berdasarkan kemajuan mereka sendiri dan mampu mengulang materi jika mereka perlukan. Sebagai seorang guru,  mungkin akan menjumpai waktu  yang paling efektif dan efisien untuk meminta siswa mempelajari konten sebelum masuk kelas dan menggunakannya. Buku teks merupakan contoh yang bagus dari jenis media yang bisa digunakan untuk belajar mandiri. Ketimbang menghabiskan waktu di kelas dengan menyajikan informasi, para siswa bisa membaca sendiri, bisa menugasi mereka dengan materi untuk di baca dalam buku teks, dan kemudian merancang aktifitas kelas yang berpusat pada teknologi tersebut.

2.5.5 Pembelajaran informal tidak terstruktur

Para siswa saat ini memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman mereka di luar kelas. Sifat dari jenis kegiatan belajar inilah yang menjadikannya informal. Para siswa bisa menyaksikan acara televisi yang menguatkan pelajaran mereka di ruang kelas. Karena, tidak meminta mereka menyaksikan acara tersebut menjadi bagian dari saat informal pengalaman belajar mereka. Contohnya bisa berupa ketika guru sedang mempelajari suatu kawasan negara dalam kajian sosial dan para siswa menyimak berita sore dengan sekmen yang terkait dengan hal tersebut. Pengetahuan umum mereka telah meningkat tanpa pengajaran langsung.

Cara lainnya di mana para siswa bisa belajar secara informal adalah melalui penggunan internet. Banyak siswa memiliki akses ke komputer di rumah yang terhubung ke internet. Mereka memiliki sumber daya yang melimpah dan tersedia bagi mereka melalui Word Wide Web (www). Para siswa belajar bagaimana mendapatkan informasi dan akan menantang diri mereka sendiri untuk belajar mengenai topik-topik yang mungkin saja tidak menjadi bagian dari kegiatan belajar di ruang kelas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Strategi pengajaran dengan memadukan teknologi dalam  pembelajaran tentunya mempertimbangkan berbagai faktor karena mengingat penggunaan teknologi yang berpengaruh memungkinkan kecepatan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Beberapa strategi diantaranya dengan presentasi, demonstrasi, latihan dan praktik, tutorial, diskusi, belajar kooperatif, permainan, simulasi, penemuan dan penyelesaian masalah.

Disamping itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah situasi dan konteks belajar dan bagaimana siswa mendapatkan pengalaman selama proses pembelajaran, supaya guru bisa menentukan strategi mana yang tepat untuk digunakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Deni, Darmawan. Teknologi Pembelajaran. 2012. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya

 

Mudhofir. Teknologi Instruksional Sebagai Landasan Perencanaan                         Dan Penyususnan Program Pengajaran. 1990. Bandung :                                     PT Remaja Rosdakarya Slamet, Belajar dan Faktor-Faktor                         yang Mempengaruhinya. 2010.  Jakarta: Rineka Cipta

 

Smalindo, Sharon E. Intructional technology and media for learning:           teknologi pembelajaran dan media untuk belajar. 2011. Jakarta : Kencana  

 

Khairil, Sudarwan Danim. Psikologi Pendidikan. 2011. Bandung: Alfabeta

 

Kurniawan Budi rahardjo. Model Pembelajaran Kooperatif. https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2017/02/19/model-pembelajaran-  kooperatif-cooperative-learning/

 

 

 

 

 

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Pendidikan Karakter

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1. Latar Belakang

            Budaya, pendidikan, agama, dan identitas merupakan empat bidang yang berkaitan satu sama lain. Keempat hal tersebut berkaitan pada tingkat nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia, sementara identitas merupakan keadaan, ciri-ciri sekelompok komunitas terkait yang tidak terlepas dari identitas pribadi, identitas sosial, identitas budaya, identitas sosialnya dalam membentuk jati dirinya (Yuliana, 2010).  

Keempat bidang tersebut di atas saling berkaitan dan sama pentingnya, namun dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak berfungsi optimal dalam membentuk individu dan masyarakat yang berkarakter. Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang santun, toleran, dan bersahabat kini seolah berubah menjadi bangsa yang suka melakukan kekerasan, dan tidak taat pada aturan. Nampaknya krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini, telah memberi dampak yang besar dalam berbagai tatanan kehidupan bangsa. Berbagai krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia perlu dipandang sebagai tantangan untuk melakukan tatanan kembali terhadap pendidikan karakter menuju ke arah yang lebih baik.

Masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah terletak pada aspek moral karena kurangnya panutan. Beberapa kejadian di masyarakat telah memberikan bukti tentang hal ini (berita dari berbagai media massa) baik dalam skala mikro seperti kekerasan dalam keluarga, kasus-kasus narkoba, pemerkosaan, anak yang tidak memiliki sopan santun, maupun yang bersifat makro seperti penyerangan terhadap aparat kepolisian, tawuran antarpelajar, kerusuhan suporter di Surabaya, perkelahian antar kelompok/banjar yang sempat terjadi di Bali termasuk kasus-kasus adat. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kekerasan juga terjadi dalam dunia pendidikan. Kericuhan antar pelajar, antarmahasiswa, dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itulah perlu kiranya kembali berbicara mengenai pendidikan karakter.

 

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah yaitu :

  1. Bagaimana Refleksi Pendidikan Karakter ?
  2. Apa Pentingnya Pendidikan Karakter ?
  3. Bagaimana Realisasi Pendidikan Karakter dalam Keberagaman Budaya ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

2.1 Refleksi Pendidikan Karakter

            Dalam konteks pendidikan, ketika sebagian masyarakat pelajar dianggap tidak lagi memiliki etika bertingkah laku, banyak pihak yang mengusulkan untuk dihidupkan kembali pendidikan karakter (pendidikan watak, pendidikan budi pekerti). Dasar pemikirannya adalah, bahwa anak-anak sekarang perilakunya buruk karena tidak mendapatkan pelajaran budi pekerti. Ada juga yang berpendapat, untuk meningkatkan moral anak, jam pelajaran agama perlu ditambah. Bagi mereka, penambahan jam pelajaran pendidikan agama berbanding lurus dengan peningkatan moral peserta didik (Suwardani, 2010:75).

Sistem pendidikan instan yang hanya mempersiapkan anak-anak untuk mengejar target ujian semata, menambah barisan ketidakberesan sistem pendidikan kita. Anak-anak dijejali pelajaran yang nantinya akan mereka lupakan kembali. Tidak menutup kemungkinan sistem instan untuk kejar target ini penyebab anak-anak sekolah gemar menyontek. ”Cikal Bakal korupsi kan awalnya dari situ” ujar Megawangi (2006), apalagi dengan kebijakan sekolah gratis semakin membuat masyarakat tidak peduli dengan pendidikan. Padahal keberhasilan pendidikan untuk membuat anak-anak berakhlak mulia, kuncinya ada pada partisipasi masyarakat.

Di sekolah proses pendidikan berlangsung di kelas-kelas dimana peran guru tidak dapat diabaikan. Telah banyak penelitian yang mengungkap pengaruh pengetahuan dan perilaku guru terhadap muridnya (Arcaro, 1995). Guru yang sukses bukanlah semata-mata guru yang penuh kharisma, persuasif, dan penyaji yang handal, melainkan seorang guru yang pembelajarannya mampu memberi dampak yang panjang terhadap siswanya untuk mampu mendidik dirinya sendiri dan memiliki akhlak yang mulia.

Sayangnya sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, rasa). ”Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup” (Lickona, dalam Suwardani, 2010:76) ). Lebih jauh lagi, mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan atau hanya sekedar tahu). Oleh sebab itu, pendidikan karakter merupakan pendidikan yang sangat urgen untuk segera diimplementasikan di sekolah sebagai rumah kedua setelah keluarga (institusi yang pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak), terutama di sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, bahkan sampai di Perguruan Tinggi.

Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Karena itu, untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.

 

2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan. Begitu pentingnya pendidikan karakter ini, maka beberapa sumber menunjukkan bahwa pendidikan karakter di beberapa negara sudah mendapatkan prioritas sejak pendidikan dasar dimulai. Pemerintah Amerika misalnya, sangat mendukung program pendidikan karakter yang diterapkan sejak pendidikan dasar (Chrisiana, 2006).

Sedangkan di Indonesia, pendidikan karakter ini nampaknya kembali diwacanakan karena pendidikan karakter selama ini belum diterapkan secara holistik dan terintegrasi dalam pendidikan formal. Arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan negara sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wuryadi dalam (Hanun, 2002) mengatakan manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

Untuk memberikan gambaran tentang karakteristik individu, menurut Hill (2002) ada enam jenis karakter yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Characters Counts. Enam jenis karakter yang dimaksud adalah : (1) trust worthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal; (2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; (3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar, (4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain; (5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam; dan (6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

Selama dimensi karakter tidak menjadi bagian dari kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pula pendidikan tidak akan berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter. Pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai sedini mungkin, dan harus dilakukan secara terus menerus, sehingga akan terbentuk jati diri yang tercermin dalam perilaku. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi emosional, potensi intelektual, potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Pendidikan holistik juga untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati. Dalam prosesnya sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku seseorang. Sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan harus memiliki school culture, dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk melalui proses penyadaran dan pembiasaan.

Pembelajaran harus diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Kalau ditilik USPN No.20 Tahun 2003 pasal 3, bahwa: ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan tersebut belum tercapai. Karena itulah tokoh pendidikan Indonesia Ratna Megawangi memunculkan sebuah model pendidikan alternatif yang disebut dengan ”Pendidikan Karakter”.

Megawangi (2007:107) berpendapat, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya. Kita sering mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa mengajarkan anak-anak kecil ibaratnya seperti menulis di atas batu yang akan terbekas sampai usia tua, sedangkan mengajarkan pada orang dewasa diibaratkan seperti menulis di atas air yang akan cepat sirna dan tidak membekas. Ungkapan itu tidak dapat diremehkan begitu saja karena karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar pendidikan yang mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak dini akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter.

Dengan mengembangkan karakter yang baik dalam pendidikan, akan dapat membangkitkan sifat-sifat manusia yang sejati, sehingga tidak hanya terfokus pada kecerdasan yang mengandalkan akal sehat atau rasionalitas.

 

2.3 Realisasi Pendidikan Karakter dalam Keberagaman Budaya

Kompleksitas masalah keragaman budaya didorong oleh arus kuat globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, yang tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif. Fenomena penting yang perlu diantisipasi ialah munculnya budaya global, yang dapat menimbulkan keterkejutan sehingga kehilangan identitas budaya dan dapat tercabut dari akar budayanya. Azyumardi Azra (2007) menyebut budaya hybrid sebagai suatu fenomena yang demikian kuat menggejala di masyarakat Indonesia saat ini. Fenomena itu termanifestasi dalam berbagai sikap dan perilaku instan dengan gaya hidup baru yang cenderung meredusir nilai-nilai dan identitas budaya yang dimiliki selama ini. Sekalipun demikian, diakui bahwa semangat dan etos dari setiap lokal genius tidak berada dalam kevacuman perkembangan budaya global. Semangat dan etos efisiensi, efektivitas, persaingan, profesionalisme, disiplin, dan tanggungjawab merupakan bagian dari budaya global yang menjadi ciri sikap dan perilaku masyarakat kini dan akan datang.

Berbagai problematik keragaman budaya tersebut di atas, memberi tantangan bagi kita semua, yaitu bagaimana secara kreatif dan cerdas kita mampu mengelola dan mengemas keragaman budaya yang dimiliki menjadi suatu kekuatan, sehingga terbangun kehidupan masyarakat yang demokratis, maju dan modern dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat global tanpa tercabut dari akar budaya. Di samping pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang dikatakan memiliki kompetensi keragaman budaya apabila didukung oleh kapasitas watak (karakter), sikap, dan kehendak untuk menghargai, menghormati, dan mengakui keragaman dan perbedaan budaya satu terhadap yang lain, kehidupan masyarakat yang sedemikian itu, memerlukan warga masyarakat yang memiliki kompetensi keragaman budaya, yaitu kemampuan seseorang atau komunitas untuk dapat saling menghargai, menerima keragaman budaya yang ada, dan berinteraksi secara harmonis dalam hidup bersama untuk bersama-sama hidup. Pada akhirnya, kompetensi keragaman budaya harus juga menjadi suatu ketrampilan interpersonal dalam interaksi dengan orang lain yang berbeda secara kultural, namun tetap dalam koridor saling menghargai.

Kekerasan, kekacauan dan gangguan di dalam masa-masa perubahan sosial yang besar dalam masyarakat harus diperkecil dengan memperkuat karakter bangsa. Pendidikan yang selama ini tidak utuh membentuk dimensi individu, termasuk model pendidikan top-down seperti pendidikan ”gaya bank” menurut Freire mesti harus ditinggalkan, karena model pendidikan semacam ini akan menghasilkan manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya, sehingga menyebabkan manusia tidak dapat berdiri kokoh pada budaya zamannya (Suwardani, 2010:84).

Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam strategi kebudayaan Indonesia, dan diperkuat dengan local genius yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan begitu siapapun yang memiliki komitmen sebagai pendidik atau sebagai praktisi pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pendidikan pada posisi yang seharusnya, yakni pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang mampu membentuk karakter peserta didik. Untuk mencapai keadaan ini perlu dikembangkan masyarakat yang memiliki karakter yang kokoh, sehingga dapat saling menerima dan saling menghargai pendapat dan peran masing-masing. Sikap saling menerima dan saling menghargai pendapat ini tidak tumbuh secara serta merta, tetapi perlu ditanamkan dan ditumbuhkan melalui proses pendidikan karakter. Pendidikan karakter diarahkan untuk membangun kepribadian bangsa di tengah keberagaman budaya.

Nainggolan (2010:70) mengatakan pendidikan karakter yang akan diajarkan bagi peserta didik harus selaras dengan budaya bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, pendidikan karakter bagi peserta didik perlu didesain, diformulasikan dan dioperasikan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Kalau karakter peserta didik sudah dibangun berdasarkan konsep budaya Indonesia, maka kekhawatiran akan masuknya budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia dengan sendirinya akan tersaring oleh karakter bangsa yang sudah terbangun. Pendidikan karakter sangat penting dalam rangka terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh, untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai. Sebab nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah.

Lickona (dalam Suwardani, 2010:86) menekankan tiga komponen dalam pendidikan karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan dalam keragaman budaya di masyarakat.

Berangkat dari pandangan itu, sebenarnya pendidikan karakter selain diberikan melalui pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas, hal yang tidak boleh dilupakan adalah melalui pendidikan sejarah. Setiap generasi perlu mengetahui lika-liku perjalanan sejarah bangsanya. Bangsa Indonesia berdiri kokoh di tengah-tengah bangsa lainnya setelah melewati sejarah perjuangan panjang serta pengorbanan yang besar. Dalam konteks global, pendidikan kita ke depan harus mampu menanamkan nilai-nilai karakter yang berakar dari budaya bangsa, memiliki kreativitas, toleransi, empati, dan budaya dialog. Aspek itu penting untuk dikuasai semua individu karena di era global kita harus mampu berperan aktif dan proaktif. Konsekuensinya, pendidikan karakter harus mampu memberdayakan peserta didik agar memiliki kemampuan berkomunikasi secara global dalam sistemnetworking yang santun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

3.1 Kesimpulan

            Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia yang berakhlak. Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Secara substantif, karakter terdiri atas tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Ketiga substansi tersebut bermuara pada kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain, karakter kita maknai sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa. Semua ini akan dapat terwujud jika dilakukan dengan pendidikan holistik, yakni untuk membentuk manusia yang berkarakter yaitu mengembangkan seluruh potensi anak didik, sehingga mereka memiliki kemampuan memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam keberagaman budaya.

 

3.2 Saran

Pendidikan itu proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, pikiran, dan karakter khususnya lewat persekolahan formal. Dalam melaksanakan proses pendidikan guru memegang peranan kunci untuk membentuk karakter dan sumber daya manusia yang berkualitas, yang dapat menghadapi tantangan global. Karena itu diperlukan guru yang profesional untuk mengembangkan seluruh potensi anak didik. Para guru tidak boleh mendidik anak secara sembarangan, mereka harus memiliki berbagai ketrampilan, kemampuan khusus, menjaga kode etik guru, serta bisa mendidik peserta didik menjadi anak yang mempunyai karakter sesuai kemampuannya. Guru tidak cukup hanya menguasai materi pelajaran saja, akan tetapi mengayomi murid menjadi contoh atau teladan bagi murid serta selalu mendorong murid untuk lebih baik dan maju.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arcaro, Jerome S. 1995. http//www.google.com

 

Azyumardi Azra. 2007. Keragaman Indonesia : Pancasila dan Multikulturalisme, Makalah pada Semiloka ”Keragaman Suku, Agama, Ras, dan Gender sebagai Modal Sosial untuk demokrasi, dan Masyarakat Madani. Yogyakarta, 13 Agustus 2007.

Chrisiana, Wanda. 2005. “Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus di Jurusan Teknik Industri UK Petra”. Jurnal Teknik Industri. Vol.7.No.1 Juni 2005.

 

Hanun, Asrohah. 2002. Pendidikan Akhlak; Problem dan Perspektif. Surabaya : Nizamia.

 

Hill, TA. 2005. Character First!Kimray Inc. http//www.charactercities.org/dowloads/ publications/Whatischaracter.pdf.

Diunduh 10 Januari 2011.

 

Megawangi, Ratna. 2006. “Wanginya Sembilan Pilar Karakter”. Dalam Pena Pendidikan. Nomor 03/Tahun I/Juli 2006. Edisi 3

 

Megawangi, Ratna. 2007. Pendidikan Karakter. Diunduh dari G:\PENDIDIKAN KARAKTER\html\indek5.php.htm.

 

Suwardani, Ni Putu. 2010. Dharmasmrti. Denpasar : Pascasarjana Unhi Denpasar

 

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Citra Umbara.

 

Yuliana, E.Dewi. 2010. ”Agama, Budaya, dan Identitas dalam Pendidikan Karakter Bangsa”. Denpasar.